Minggu, 21 September 2014

Tak Lulus SD, Tapi Mampu Membangun 900 Bank Petani


Berangkat dari kesulitan mencari modal untuk memperluas kebun ubi jalar di kampungnya, di Baso, Agam, Sumatera Barat (Sumbar), Masril Koto bertekad membuat bank petani. walaupun ia sendiri tak lulus SD
Bank petani tersebutlah yang membuat Masril Koto mendapatkan berbagai penghargaan sebagai Social entrepreneur. Berbekal semangat dan ketekunan, Masril membangun lebih dari 900 bank petani berbentuk lembaga keuangan mikro-agribisnis (LKMA) di seluruh Indonesia. Tidak hanya itu Sistem bank ini juga yang diadopsi oleh pemerintah dan menjadi cikal bakal Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan Nasional.
Pada awalnya Masril merangkul para remaja minang untuk bergotong royong membangun lapangan basket.
Lapangan ini yang akhirnya menjadi tempat berkumpul para pemuda di kampung Masril. Di situ pula terbentuk organisasi kepemudaan Karang Taruna di kampungnya, Banu Hampu.
Supaya bisa mendanai berbagai kegiatan organisasi, Masril berinisiatif membangun ruko di tanah desa yang akan menjadi milik para pemuda. "Kebetulan ada jalan baru di depan ruko," tutur Masril.
Untuk membangun enam ruko, Masril berutang ke toko bangunan. Selama dua tahun, uang sewa dari lima ruko dibayarkan ke toko bahan bangunan. Sementara, uang sewa satu ruko sisanya menjadi milik organisasi pemuda di sana yang akhirnya berkembang menjadi Yayasan Amai Setia.
Diundang Bank Indonesia
Masril menikah dengan Ade Suryani yang berasal dari kecamatan berbeda di Agam. Masril mengikuti keluarga istrinya di Nagari Koto Tinggi, Baso. Kembali, Masril menemui berbagai masalah. Satu yang paling mencuri perhatiannya adalah masalah modal memperluas kebun.
Setelah melalui serangkaian diskusi, baik dengan petani maupun instansi pemerintahan terkait, para petani ubi jalar di Baso ingin adanya sebuah bank petani. Masril kembali tampil. "Saya merasa punya talenta berorganisasi," kata dia.
Demi merintis bank petani, Masril keluar masuk bank di Padang. Ia menanyakan cara-cara mendirikan bank, tetapi ia tak pernah mendapat jawaban memuaskan. "Sepertinya kami tak mungkin membuat bank sendiri," ujar dia.
Tak patah semangat, Masril terus berkonsultasi dengan Dinas Pertanian di kabupatennya. Hingga suatu ketika, ada sebuah pelatihan akuntansi yang diselenggarakan untuk kelompok tani tersebut. Masril pun mendapat kesempatan berkenalan dengan pegawai Bank Indonesia (BI). Merasa bertemu orang yang tepat, dia bertanya segala sesuatu tentang seluk-beluk pendirian bank. Masril pun diundang datang ke kantor BI.
"Sekitar 2005, saya baru datang ke BI. Pengalaman pertama saya datang ke gedung perkantoran di kota," ujar dia.
Berbekal penjelasan dari BI, Masril dan para petani segera menyusun rencana membuat bank petani. Dia mengumpulkan modal dari para petani, dengan cara menjual saham, senilai Rp 100.000 per saham. Dari 200 petani di Baso, terkumpul modal Rp 15 juta. seperti yang dilansir kompas.com
Setelah empat tahun melewati perjuangan melelahkan, baru pada awal 2006, bank yang dikelola lima pengurus ini mulai beroperasi. Masril pun ditunjuk sebagai ketua.
Dalam hitungan hari, seluruh modal terserap habis menjadi kredit. Masril kembali bingung karena tak ada uang yang mengendap. Dari situ, dia lantas berpikir perlunya iuran pokok bagi nasabah yang dibayar setahun sekali untuk biaya operasional. Masril juga membuat beberapa produk tabungan, sesuai dengan kebutuhan petani, seperti tabungan pupuk. Oh, iya, agar meyakinkan, Masril yang paham produk percetakan membuat saham dan buku-buku tabungan dan catatan kredit seperti bank pada umumnya.
Keberhasilan bank petani ini segera tersebar luas. Banyak organisasi masyarakat datang ke bank petani ini untuk melakukan studi banding. Bahkan, dalam kunjungannya meninjau gempa di Padang pada 2007, beberapa menteri mampir ke bank petani yang kemudian berubah nama menjadi LKM Prima Tani ini.
Sayang, lantaran tak lagi sepaham dengan visi yang diemban para pengurus LKM, Masril keluar pada 2009. Saat itu aset sudah mencapai Rp 150 juta. "Saya ingin menularkan keberhasilan ini untuk petani lainnya," tutur dia.
Mulailah Masril berjuang seorang diri menjadi relawan. Ditemani sepeda motor kesayangan, dia memperkenalkan konsep LKM agribisnis ini ke kelompok-kelompok petani di Sumatera Barat, tanpa bayaran sepeser pun. "Mereka hanya mengisi bahan bakar sepeda motor saya," kata Masril.
Pada 2010, seorang warga Jepang menemuinya dan meminta Masril membantu membuat LKM agribisnis untuk 2.000 petani di Sumbar. Ini merupakan pencapaian besar karena rata-rata kelompok tani yang ia kelola hanya setingkat desa, terdiri dari 200 petani. Namanya pun kian berkibar sebagai pencetus bank petani.
Tak berhenti di Sumbar, Masril juga menularkan konsep bank petani ini ke seluruh daerah di Indonesia. "Saya ingin mengajak petani berdaulat secara pangan dan ekonomi di desanya," katanya.
Kini, ada sekitar 900 LMK yang telah dibentuk Masril, dengan aset mulai dari Rp 300 juta hingga Rp 4 miliar per LMK. Dia menaksir, total kelolaan dana LKMA secara keseluruhan mencapai Rp 90 miliar dengan 1.500 tenaga kerja yang merupakan anak petani.
Masril yang kini sering tampil sebagai pembicara, sebagai wakil BI atau dosen undangan di berbagai universitas, menargetkan 1.000 LKMA pada 2016. Dia menitikberatkan pendirian LKMA di Indonesia Timur, khususnya daerah yang belum terjamah institusi keuangan
semoga artikel tak lulus SD Pria Minang Ini membangun 900 bank petani bisa membuat kita semua terinspirasi dan tak patah semangat untuk melakukan hal yang baik, semua orang bisa bermanfaat bagi orang lain walaupun 'mereka' tak sekolah, asal dilakukan dengan serius dibarengi dengan ketekunan.
sumber : FamilyGuide

Selasa, 09 September 2014

Nilai F yang mendorong Monty Roberts mewujudkan mimpinya



Marvin Earl Roberts Jr yang biasa dipanggil “Monty” lahir di Salinas tanggal 14 Mei 1935, California. Ayahnya, Marvin Earl Roberts Sr adalah seorang pelatih kuda yang harus berpindah-pindah dari istal ke istal, dari ranch satu ke ranch yang lain sehingga pendidikan Monty terganggu. Ayahnya adalah pelatih kuda yang mahir, dan  telah menulis buku “Horse and Horseman Training” yang diterbitkan tahun 1957.

Suatu hari, ketika dia sudah duduk di bangku SMA, gurunya memberikannya tugas, yaitu membuat karangan tentang apa yang akan dilakukannya setelah dewasa dan bekerja nanti. Monty yang merasa tertantang, segera membuat karangan sepanjang 7 halaman, tentang rencananya mendirikan dan memiliki sebuah ranch kuda. Dengan teliti dia menerangkan ruangan-ruangannya. Bahkan dia melukiskan secara detail gambar rencana ranch itu, lengkap dengan ukuran-ukurannya.

Dua hari kemudian, Pak Guru mengembalikan kertas kerja Monty dan memberikannya nilai “F” atau nilai yang paling rendah. Setelah kelas, Monty menemui Pak Guru. “Mengapa saya dapat nilai F Pak?” tanya Monty. “Karena mimpimu itu terlalu di awang-awang, tidak realistis !” sergah Pak Guru, “ Ini tidak akan tercapai olehmu yang masih muda, tidak punya uang, dan hidup berpindah-pindah dengan ayahmu. Tidak mungkin kamu akan dapat mewujudkan mimpimu, kapanpun.  Sudahlah, aku berikan kau kesempatan untuk memperbaiki paper ini. Tulislah yang lebih realistis ya.”

Monty merasa sangat terhina. Bagaimana mungkin cita-citanya yang baik itu dinyatakan sebagai suatu kesalahan yang fatal ? Sampai dinilai F? Artinya sampai tidak dinilai sama sekali? Monty marah, dan tidak dapat menerima perlakuan Gurunya itu! Monty pulang, dan menemui ayahnya yang ada di meja makan sambil menulis lembar-lembar buku karangannya.  Monty bertanya kepada ayahnya, apa yang harus ia lakukan.  Ayahnya menjawab : “Apa yang kamu tulis di paper itu adalah keputusan yang paling penting yang harus kamu ambil. Kamu mau menurunkan impianmu itu dengan hanya menjadi pegawai ranch saja, atau kamu mau memiliki ranch yang kecil saja, atau, kamu mau memiliki ranch besar seperti yang kamu jelaskan dalam paper itu ?! Semuanya itu terserah kepadamu. Kamu harus mengambil keputusanmu sendiri, karena itu akan menjadi jalan hidupmu.” Ayah meninggalkannya, dan pergi ke halaman rumah untuk melatih kudanya.

Monty merenungkan kata-kata ayahnya.  Kemudian dengan wajah cerah dia berkata :“Aku memilih yang ketiga sebagai pemilik ranch besar, dan aku akan melebihi ayahku ! Aku akan buktikan bahwa aku akan berhasil ! Ha-ha-ha, aku akan mendapat nila A !!” Beberapa hari kemudian Monty menghadap Pak Guru untuk menyerahkan paper-nya. “Apa??” beliak Pak Guru “Ini kertas yang sama dengan kemarin !!” Monty menjawab tak kalah kerasnya : “Pertahankanlah nilai F itu untukmu Pak, dan aku juga akan mempertahankan mimpiku !”

Setelah lulus SMA, Monty segera bekerja keras untuk mewujudkan impiannya. Dia tahu, ayahnya pun seorang pekerja keras, dan menginginkan Monty menjadi seperti dirinya. Tidak mengherankan, sang ayah memberikan nama yang sama kepada anak itu, bedanya hanya Senior dan Junior.  Karena itu Monty belajar sebanyak mungkin dari ayahnya, meskipun akhirnya Monty mengembangkan metoda pelatihan kuda yang sangat berbeda dengan metoda ayahnya.

Sekarang, Monty Roberts memiliki rumah seluas 400 meter persegi ditengah ranch seluas 80.000 meter persegi atau 8 hektar ! Dan Monty masih memiliki paper yang diberi nilai F itu ! Paper itu telah ia bingkai dan gantungkan di atas perapian rumahnya.

Monty Roberts telah menulis 4 buku :
Roberts, Monty. The Man Who Listens to Horses. Random House, August 1997, hardcover, 310 pages. ISBN 0-345-42705-X.
Roberts, Monty. The Man Who Listens to Horses - abridged audio book. Random House Audio, August 1997. ISBN 978-0-679-46044-2.
Roberts, Monty. Shy Boy, the Horse that Came in from the Wild. 1999, 239 pages.
Roberts, Monty. Horse Sense for People: The Man Who Listens to Horses Talks to People. 2002, 256 pages.


Penghargaan untuk Monty Roberts
  1. Roberts menerima gelar Doctor Honoris Causa untuk bidang psikologi binatang dari Universitas Zurich den Universitas of Parma Italia tahun 2002 dan 2005.
  2. Roberts menjadi orang Amerika pertama yang menerima Anugerah Kuda Perak dari Jerman karena kontribusinya untuk kecintaan kepada kuda, tahun 2005.
  3. Roberts menerima Honorary Member of the Royal Victorian Order dari Ratu Elizabeth II dari Inggris tahun 2011.

Kita harus mempunyai determinasi (niat yang kuat) seperti Monty Roberts. Tentukanlah mimpi yang ingin anda capai, kemudian buatlah target, kapan cita-cita itu bisa tercapai.  Selanjutnya kita buat Timeline, atau rencana kerja berupa tahapan-tahapan yang harus dicapai, dan kapan itu dicapai. Dan yang paling penting, putuskan kapan itu akan dimulai.  Tak ada gunanya bila kita telah mempunyai mimpi, target, timeline, tetapi tidak segera memulainya. Janganlah anda menunda-nunda, karena segala sesuatunya akan berubah atau mentah lagi ketika anda menundanya.


Ingatlah bahwa sebenarnya kebanyakan manusia baru memakai 10% saja dari kemampuan otaknya untuk berprestasi. Karena itu, galilah terus potensi anda. Jangan malas dan kerjakanlah tugas-tugas anda sesegera mungkin.  Bila tidak, kesempatan-kesempatan yang seharusnya anda dapatkan sudah direbut oleh orang lain.


Bahan dari  Inspirational Stories dan Wikipedia (js)

Selasa, 02 September 2014

Yohanes Surya “Go Get Gold” - Pencetak peraih medali Olimpiade Fisika

Nama Yohanes Surya disebut-sebut sebagai salah satu kandidat calon Menteri Riset dan Teknologi. Dia sudah berjasa mengembangkan riset di Indonesia sekaligus mengorbitkan para ahli ilmu eksakta dan peneliti-peneliti handal.
Surya sendiri merupakan ilmuwan cemerlang. Seperti dikutip di laman pribadinya, pria kelahiran Jakarta 6 November 1963 itu memperdalam fisika pada jurusan Fisika MIPA Universitas Indonesia hingga tahun 1986, mengajar di SMAK I Penabur Jakarta hingga tahun 1988 dan selanjutnya menempuh program master dan doktornya di College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat.

Program masternya diselesaikan pada tahun 1990 dan program doktornya di tahun 1994 dengan predikat cum laude. Setelah mendapatkan gelar Ph.D., Yohanes Surya menjadi Consultant of Theoretical Physics di TJNAF/CEBAF (Continous Electron Beam Accelerator Facility) Virginia – Amerika Serikat (1994).

Dia bisa saja menetap di Negeri Paman Sam, karena sudah punya Greencard (ijin tinggal dan bekerja di AS). Tapi Surya memilih pulang ke Indonesia dengan tujuan ingin mengharumkan nama Indonesia melalui olimpiade fisika dengan bersemboyan “Go Get Gold.” Dia pun ingin mengembangkan fisika di Indonesia.

Pulang dari Amerika, di samping melatih dan memimpin Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), Yohanes Surya menjadi pengajar dan peneliti pada program pasca sarjana UI untuk bidang fisika nuklir (tahun 1995 –1998).

Dari tahun 1993 hingga 2007 siswa-siswa binaannya berhasil mengharumkan nama bangsa dengan menyabet 54 medali emas, 33 medali perak dan 42 medali perunggu dalam berbagai kompetisi Sains/Fisika Internasional. Pada tahun 2006, seorang siswa binaannya meraih predikat Absolute Winner (Juara Dunia) dalam International Physics Olympiad (IphO) XXXVII di Singapura.

Surya merupakan penulis produktif untuk bidang Fisika dan Matematika. Sedikitnya 68 buku sudah dia tulis untuk siswa SD sampai SMA.
Tak heran bila belakangan ini Surya dijagokan sebagai salah satu calon Menristek di sejumlah survei untuk pemerintahan baru. Namun, saat berbincang kepada VIVAnews beberapa waktu lalu, Surya mengaku tidak tertarik untuk menjadi birokrat.
Surya mengaku akan lebih efektif jika dia tetap berada di luar pemerintahan. Dia lebih suka menjadi penasihat bagi keberlangsungan riset Indonesia.
Berikut perbincangannya:
Bisa diceritakan awal karir Anda? Kan Anda dikenal hobi mendidik banyak anak?

Sebenarnya berawal mengurus olimpiade fisika. Pulang dari Amerika, tahun 1994 saya langsung melatih anak untuk olimpiade. Nah, dari situ saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia bisa juara dunia.
Dulu orang Indonesia pikir, mana bisa bersaing, apalagi dalam sains dan matematika? Kenyataannya bisa. Jika Indonesia sudah juara dunia dalam bidang fisika yang bidangnya susah sekali, artinya Indonesia bisa sehebat negara Amerika Serikat, Tiongkok.
Kenapa tidak kita mulai siapkan segala sesuatunya? Akhirnya 2006 kita juara dunia. Kemudian saya pikir mau angkat anak-anak dari daerah tertinggal. 2008 saya mulai ambil anak-anak dari pelosok-pelosok. Nah ternyata, mereka itu anak-anak yang hebat jadi gak kalah dengan anak di kota besar, kemampuannya bagus.

Seperti apa kemampuannya?

Kita ada Sekolah Genius. Ada dua orang anak dari 10 murid Sekolah Genius. Mereka dari Papua, matematika menonjol, bisa ngalahin anak-anak dengan IQ 159. Namanya Nita Kogoya dan Ayu Rogi umur 10-11 tahun. Mereka matematika jago banget.

Jaminan kedua anak ini masa depannya?

Saya harap dia tiga tahun lulus SMA, sekarang umur 10-11 tahun. Kalau 11 tahun berarti 14 tahun udah lulus SMA, harapannya masuk universitas. Tergantung kalau ke luar negeri kita kirim ke luar, kalau di Indonesia sudah pasti di Surya University.

Jumlah anak didik sekarang ada berapa?
Ada banyak. Tergantung. Kalau dari olimpiade-olimpiade saja yang lima orang pertahun kalikan saja 20 tahun. Sudah 100 anak yang ikut olimpiade. Belum yang babak penyisihan, babak penyisishan itu ada 30 anak kalau dikali 20 tahun sudah 600.
Belum lagi babak yang sebelum itu. Tergantung yang mana muridnya. Bisa ribuan. Dari Aceh sampai Papua. Mayoritas memang dari Jawa karena mereka lebih banyak yang siap. Dari kuantitas, yang Jawa lebih banyak, mungkin dari Jawanya sekitar 60 persen.

Selama 20 tahun, ada bantuan dari pemerintah untuk membantu Anda?

Pemerintah selama ini kerjasama dalam pelatihan olimpiade. Dari satu sampai dua tahun, pemerintah biasa bantu dua bulan pelatihan. Kemudian pemerintah juga bantu mengirim anak-anak ke olimpiade.

Ada imbalan dari pemerintah kerena berjasa?
Oh, nggak ada. Ini sukarela saja.

Kendala?
Banyak sih. Saya kan bukan konglomerat. Semua pasti terkait dengan dana yang besar.
Kayak bikin universitas, itu kan dananya besar. Tapi syukurlah semua bisa diatasi. Mengatasi kemalasan orang untuk meneliti. Orang sudah nyaman dengan keadaan kayak gini. Udah keenakan, jadi susah untuk bikin terobosan baru.
Orang kalau mikir, ini apa lagi. Waktu saya ingin bawa Indonesia juara dunia saja orang masih skeptis. Khayalannya mimpi. Tapi terus, jadi kan? Terus sekarang pas kita rencanakan Indonesia bisa dapat Nobel, udah pada ngeledek 'nggak mungkin’, Saya bilang, nggak ada yang gak mungkin. Kenapa nggak?

Siapa tokoh yang jadi inspirasi Anda sehingga bisa sukses seperti sekarang?
Ayah ibu saya, itu udah pasti. Mereka itu gigih sekali. Jadi kalau saya males-malesan saya malu sama mereka .
Mereka bangun jam tiga pagi. Ibu saya kan tukang bikin kue. Bangun langsung bikin kue. Tidur jam dua belas malem dan nggak pernah ngeluh.
Coba bayangkan jam tiga sudah bikin kue, jam enam sudah jualan. Terus sampe jam sembilan masak buat keluarga. Nggak ada habisnya.
Jadi kalau saya malas-malasan, saya malu juga. Jadi, kalau saya bangun jam tiga terus sudah kebiasaan. Waktu tidur tiga, empat jam. Itu udah cukup. Saat ini cukup dengan bertambahnya umur.

Apa yang anda lakukan di waktu luang?
Di waktu luang saya ini baca macam-macam. Dulu saya bacanya fisika. Sekarang sudah sudah sejarah, ekonomi. Enjoy aja. Sejarah tentang Genghis Khan, tentang Kerajaan Tionghoa zaman dulu, raja-raja Majapahit, jadi bahan makanan saya. Kenapa? di situ saya banyak menikmati .

Makin banyak peneliti asal Indonesia yang kini mengabdi di luar negeri. Apa komentar Anda?
Pemerintah seharusnya tarik mereka. Saya sudah tarik hampir 100 lebih.
Kasih mereka fasilitas yang baik, fasilitas riset. Panggil semua, siapkan dana yang besar. Dana 3 persen dari APBN. Misalnya APBN kita Rp1000 triliun.
Saya bayangkan, minimal 100-150 triliun tiap tahun kalau mau hebat kalau bisa. Kenapa? Supaya mereka riset. Peralatan yang baik, punya penghasilan, nggak usah nyambi ngajar sana sini. Panggil dari luar. Kita berkembang, itu bagus.

Seberapa mendesak pemerintah harus serius kembangkan dunia riset?
Sekarang ini kita hanya pemakan saja. Kayak handphone, kita cuma baru jadi pembeli. Kita pemakai saja. Kenapa kita nggak kembangkan?
Samsung dulu kan jelek, nggak ada apa-apanya, tapi pemerintah mereka kasih dukungan, jadi bisa mendunia. Akhirnya sekarang Apple saja kalah.
Misalkan pemerintah kita bilang ‘Oke, kita bikin yuk. Kalahkan Samsung’. 15 tahun lagi bisa, asal dukung terus. Masa kita enggak bisa? Pasti bisa. Asal ada kemauan, riset-risetnya djalankan.

Mobil juga, kebanyakan Jepang. Yuk, pemerintah support, bikin mobil tapi mobil terdepan.
Mobil terbang lah, kan sekarang belum ada. Kalau kita mau jadi produsen mobil terbang dari sekarang, 10 tahun lagi kita nomor satu.
Kejar saja. Dukung terus. Jadi sebenarrnya tergantung keinginan pemerintah saja. DPR juga harus beri dukungan. Selama ini DPR cuma berpikir, pentingnya teknologi dalam ekonomi apa? Kalau nggak, ya di pangkas anggarannya.

Riset itu bisa mempengaruhi bidang apa saja?
Banyak. Misalnya Kesehatan. Contoh, sekarang dunia mewaspadai ebola. Kalau misalkan ebola bisa terjangkit, biaya yang dikeluarkan berapa sebulan buat obat?
Vaksinnya akhirnya beli dari mana? Beli dari Amerika kan triliunan karena mereka buat persediaan.
Semuanya dijaga buat divaksin. Kenapa sih nggak kita bikin labnya? Lab vaksin yang canggih nanti buat nanggulangin ebola.
Waktu virus flu burung, kita pusing. Harus beli vaksin banyak-banyak, miliaran. Yang kaya malah tukang bikin vaksin.

Terus riset di pertanian. Petani-petani kita setahun cuma 4 ton per hektar sudah setengah mati. Tiongkok pake teknologi, pake riset, udah 15 ton per hektar. Hasil pertanian Indonesia 15 banding 4 dong, hampir 4 kali lipat. Riset dong. Membantu petani setempat.

Sekarang senjata kita beli dari negara x. Peraturannya banyak banget.
Kagak boleh ini, kagak boleh itu. Jadi cuman panjangan doang. Tujuannya baik.
Jangan digunakan untuk perang tapi jadi pajangan. Kan sayang. Macem-macem dari berbagai sektor. Gimana mempertahankan pertumbuhan ekonomi 7 persen?
Apa saja yang mesti kita ekspor? Apa saja yang kita mesti impor supaya 7 persen? Kayak Tiongkok, gimana caranya, kita harus riset.

Contoh negara yang sudah menerapkan riset?
Negara-negara maju semua pake riset. Amerika, Jepang, Korea. Dananya besar, 2-3 persen (dari APBN). Bahkan negara ada yang sampai 8 persen.
Sebentar lagi akan ada pemerintahan baru. Tertarik mau jadi Menteri Riset dan Teknologi?
Saya saat ini lebih baik di luar [pemerintahan]. Saya ingin mengembangkan riset-riset di Universitas Surya.
Saya berharap bisa tunjukkan ke universitas lain bahwa kita bisa riset dengan kondisi seminim mungkin dan kita bisa menjadi besar. Ini jadi pendorong untuk unversitas-universitas lain dalam riset.
Nanti Menristek yang baru itu dia lah yang tinggal nge-push sedikit. Jadi saya dari bawah, Menristeknya dari atas. Asal nyambung aja.

Jadi saya lebih cenderung membantu Joko Widodo. Bila diizinkan jadi penasihat untuk riset, bukan jadinya menterinya.
Saya akan mencoba memberi pandangan pada beliau kemana Indonesia harusnya, riset kemana aja. Nggak ada gunanya saya di situ, nggak terlalu bermanfaat.
Biarkan orang-orang yang punya kapasitas sebagai birokrat, silakan. Biarkan saya di sini, nanti bisa sinergi. Itu sih harapannya. Tapi nggak tau, (nanti) Pak Jokowi memberi pandangannya seperti apa.

Bagaiman kalau Jokowi menunjuk Anda?
Saya tetap akan negosiasi, kalau bisa saya di luar pemerintahan. Saya lebih efektif di luar. Kemungkinannya kecil, kecuali ada sesuatu.
Tapi saat ini saya cenderung untuk di luar. Saya nggak tahu setelah Jokowi panggil. Something can happen. Ya, mudah-mudahan nggak ada perubahan.

Kandidat yang cocok untuk mengisi Menristek?
Sebenarnya ada teman saya yang cukup bagus. Tidak banyak omong tapi ide-idenya cukup menarik.
Dia mencoba penggabungan antara perguruan tinggi dengan kemenristek, mengelaborasinya. Maksud saya, sangat strategis. Dia mantan Wakil Rektor IPB, namanya  Asep Saefuddin.
Orangnya cukup strategis. Selama berteman dengan dia, orangnya punya pemikiran menarik. Artinya, pembicaraan saya dengan beliau, orangnya kalau saya lihat sih Oke.

Selain Asep?
Saya belum diskusi banyak sehingga sulit mengatakan. Liat visinya dia seperti apa. Mungkin ada. Indonesia kan banyak orang pinter. Belum ketemu saja.

Kriteria Menristek menurut Anda?
Menurut saya, orangnya harus punya pikiran kalau Indonesia itu harus menjadi negara riset. Riset-riset harus dipegang.
Singapura pintar sekali untuk menerapkan strategi risetnya. Sebenarnya kita bisa.
Amerika kan banyak lulusan dari Harvard dan MIT (Massachusetts Institute of Technology). Tapi mereka itu sulit mencari pekerjaan karena di Amerika persaingannya tajam. Singapura pintar karena buka lowongan.
Lulusan MIT sudah jago, nggak perlu satunya. Kenapa nggak kita bergabung dengan peneliti lokal, mereka dari luar. Naik dong derajatnya.
Jadi bisa menulis di makalah internasional. Namanya naik dan ide-idenya berkembang kan.
Artinya, Menristek yang akan datang harus berpikir strategis. Harus berpikir out of the box. Gimana caranya cari akal riset di Indonesia seluruhnya merata, agar hasilnya dapat dirasakan masyarakat setempat, masyarakat banyak.
Mungkin kelihatannya 3-4 tahun ke depan. Nggak apa-apa. Namanya riset butuh waktu. Jadi, harus yang punya visi kuat. (ren)
sumber : viva news