Berangkat dari kesulitan mencari modal untuk memperluas kebun ubi jalar di kampungnya, di Baso, Agam, Sumatera Ba
rat (Sumbar), Masril Koto bertekad membuat bank petani. walaupun ia sendiri tak lulus SD
Bank petani tersebutlah yang membuat Masril Koto mendapatkan berbagai
penghargaan sebagai Social entrepreneur. Berbekal semangat dan
ketekunan, Masril membangun lebih dari 900 bank petani berbentuk lembaga
keuangan mikro-agribisnis (LKMA) di seluruh Indonesia. Tidak hanya itu
Sistem bank ini juga yang diadopsi oleh pemerintah dan menjadi cikal
bakal Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan Nasional.
Pada awalnya Masril merangkul para remaja minang untuk bergotong royong membangun lapangan basket.
Lapangan ini yang akhirnya menjadi tempat berkumpul para pemuda di
kampung Masril. Di situ pula terbentuk organisasi kepemudaan Karang
Taruna di kampungnya, Banu Hampu.
Supaya bisa mendanai berbagai
kegiatan organisasi, Masril berinisiatif membangun ruko di tanah desa
yang akan menjadi milik para pemuda. "Kebetulan ada jalan baru di depan
ruko," tutur Masril.
Untuk membangun enam ruko, Masril berutang
ke toko bangunan. Selama dua tahun, uang sewa dari lima ruko dibayarkan
ke toko bahan bangunan. Sementara, uang sewa satu ruko sisanya menjadi
milik organisasi pemuda di sana yang akhirnya berkembang menjadi Yayasan
Amai Setia.
Diundang Bank Indonesia
Masril menikah
dengan Ade Suryani yang berasal dari kecamatan berbeda di Agam. Masril
mengikuti keluarga istrinya di Nagari Koto Tinggi, Baso. Kembali, Masril
menemui berbagai masalah. Satu yang paling mencuri perhatiannya adalah
masalah modal memperluas kebun.
Setelah melalui serangkaian
diskusi, baik dengan petani maupun instansi pemerintahan terkait, para
petani ubi jalar di Baso ingin adanya sebuah bank petani. Masril kembali
tampil. "Saya merasa punya talenta berorganisasi," kata dia.
Demi merintis bank petani, Masril keluar masuk bank di Padang. Ia
menanyakan cara-cara mendirikan bank, tetapi ia tak pernah mendapat
jawaban memuaskan. "Sepertinya kami tak mungkin membuat bank sendiri,"
ujar dia.
Tak patah semangat, Masril terus berkonsultasi dengan
Dinas Pertanian di kabupatennya. Hingga suatu ketika, ada sebuah
pelatihan akuntansi yang diselenggarakan untuk kelompok tani tersebut.
Masril pun mendapat kesempatan berkenalan dengan pegawai Bank Indonesia
(BI). Merasa bertemu orang yang tepat, dia bertanya segala sesuatu
tentang seluk-beluk pendirian bank. Masril pun diundang datang ke kantor
BI.
"Sekitar 2005, saya baru datang ke BI. Pengalaman pertama saya datang ke gedung perkantoran di kota," ujar dia.
Berbekal penjelasan dari BI, Masril dan para petani segera menyusun
rencana membuat bank petani. Dia mengumpulkan modal dari para petani,
dengan cara menjual saham, senilai Rp 100.000 per saham. Dari 200 petani
di Baso, terkumpul modal Rp 15 juta. seperti yang dilansir kompas.com
Setelah empat tahun melewati perjuangan melelahkan, baru pada awal
2006, bank yang dikelola lima pengurus ini mulai beroperasi. Masril pun
ditunjuk sebagai ketua.
Dalam hitungan hari, seluruh modal
terserap habis menjadi kredit. Masril kembali bingung karena tak ada
uang yang mengendap. Dari situ, dia lantas berpikir perlunya iuran pokok
bagi nasabah yang dibayar setahun sekali untuk biaya operasional.
Masril juga membuat beberapa produk tabungan, sesuai dengan kebutuhan
petani, seperti tabungan pupuk. Oh, iya, agar meyakinkan, Masril yang
paham produk percetakan membuat saham dan buku-buku tabungan dan catatan
kredit seperti bank pada umumnya.
Keberhasilan bank petani ini
segera tersebar luas. Banyak organisasi masyarakat datang ke bank petani
ini untuk melakukan studi banding. Bahkan, dalam kunjungannya meninjau
gempa di Padang pada 2007, beberapa menteri mampir ke bank petani yang
kemudian berubah nama menjadi LKM Prima Tani ini.
Sayang,
lantaran tak lagi sepaham dengan visi yang diemban para pengurus LKM,
Masril keluar pada 2009. Saat itu aset sudah mencapai Rp 150 juta. "Saya
ingin menularkan keberhasilan ini untuk petani lainnya," tutur dia.
Mulailah Masril berjuang seorang diri menjadi relawan. Ditemani sepeda
motor kesayangan, dia memperkenalkan konsep LKM agribisnis ini ke
kelompok-kelompok petani di Sumatera Barat, tanpa bayaran sepeser pun.
"Mereka hanya mengisi bahan bakar sepeda motor saya," kata Masril.
Pada 2010, seorang warga Jepang menemuinya dan meminta Masril membantu
membuat LKM agribisnis untuk 2.000 petani di Sumbar. Ini merupakan
pencapaian besar karena rata-rata kelompok tani yang ia kelola hanya
setingkat desa, terdiri dari 200 petani. Namanya pun kian berkibar
sebagai pencetus bank petani.
Tak berhenti di Sumbar, Masril
juga menularkan konsep bank petani ini ke seluruh daerah di Indonesia.
"Saya ingin mengajak petani berdaulat secara pangan dan ekonomi di
desanya," katanya.
Kini, ada sekitar 900 LMK yang telah dibentuk
Masril, dengan aset mulai dari Rp 300 juta hingga Rp 4 miliar per LMK.
Dia menaksir, total kelolaan dana LKMA secara keseluruhan mencapai Rp 90
miliar dengan 1.500 tenaga kerja yang merupakan anak petani.
Masril yang kini sering tampil sebagai pembicara, sebagai wakil BI atau
dosen undangan di berbagai universitas, menargetkan 1.000 LKMA pada
2016. Dia menitikberatkan pendirian LKMA di Indonesia Timur, khususnya
daerah yang belum terjamah institusi keuangan
semoga artikel tak
lulus SD Pria Minang Ini membangun 900 bank petani bisa membuat kita
semua terinspirasi dan tak patah semangat untuk melakukan hal yang baik,
semua orang bisa bermanfaat bagi orang lain walaupun 'mereka' tak
sekolah, asal dilakukan dengan serius dibarengi dengan ketekunan.
sumber :
FamilyGuide
0 komentar:
Posting Komentar