Nama
 Yohanes Surya disebut-sebut sebagai salah satu kandidat calon Menteri 
Riset dan Teknologi. Dia sudah berjasa mengembangkan riset di Indonesia 
sekaligus mengorbitkan para ahli ilmu eksakta dan peneliti-peneliti 
handal.
Surya sendiri merupakan 
ilmuwan cemerlang. Seperti dikutip di laman pribadinya, pria kelahiran 
Jakarta 6 November 1963 itu memperdalam fisika pada jurusan Fisika MIPA 
Universitas Indonesia hingga tahun 1986, mengajar di SMAK I Penabur 
Jakarta hingga tahun 1988 dan selanjutnya menempuh program master dan 
doktornya di College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat. 
Program masternya diselesaikan pada tahun 1990 dan program doktornya di tahun 1994 dengan predikat cum laude.
 Setelah mendapatkan gelar Ph.D., Yohanes Surya menjadi Consultant of 
Theoretical Physics di TJNAF/CEBAF (Continous Electron Beam Accelerator 
Facility) Virginia – Amerika Serikat (1994). 
Dia bisa saja 
menetap di Negeri Paman Sam, karena sudah punya Greencard (ijin tinggal 
dan bekerja di AS). Tapi Surya memilih pulang ke Indonesia dengan tujuan
 ingin mengharumkan nama Indonesia melalui olimpiade fisika dengan 
bersemboyan “Go Get Gold.” Dia pun ingin mengembangkan fisika di Indonesia.
Pulang
 dari Amerika, di samping melatih dan memimpin Tim Olimpiade Fisika 
Indonesia (TOFI), Yohanes Surya menjadi pengajar dan peneliti pada 
program pasca sarjana UI untuk bidang fisika nuklir (tahun 1995 –1998). 
Dari
 tahun 1993 hingga 2007 siswa-siswa binaannya berhasil mengharumkan nama
 bangsa dengan menyabet 54 medali emas, 33 medali perak dan 42 medali 
perunggu dalam berbagai kompetisi Sains/Fisika Internasional. Pada tahun
 2006, seorang siswa binaannya meraih predikat Absolute Winner (Juara 
Dunia) dalam International Physics Olympiad (IphO) XXXVII di Singapura.
Surya
 merupakan penulis produktif untuk bidang Fisika dan Matematika. 
Sedikitnya 68 buku sudah dia tulis untuk siswa SD sampai SMA.
Tak heran bila belakangan
 ini Surya dijagokan sebagai salah satu calon Menristek di sejumlah 
survei untuk pemerintahan baru. Namun, saat berbincang kepada VIVAnews beberapa waktu lalu, Surya mengaku tidak tertarik untuk menjadi birokrat.
Surya mengaku akan lebih 
efektif jika dia tetap berada di luar pemerintahan. Dia lebih suka 
menjadi penasihat bagi keberlangsungan riset Indonesia.
Berikut perbincangannya:
Bisa diceritakan awal karir Anda? Kan Anda dikenal hobi mendidik banyak anak?
Sebenarnya
 berawal mengurus olimpiade fisika. Pulang dari Amerika, tahun 1994 saya
 langsung melatih anak untuk olimpiade. Nah, dari situ saya ingin 
menunjukkan bahwa Indonesia bisa juara dunia.
Dulu orang Indonesia 
pikir, mana bisa bersaing, apalagi dalam sains dan matematika? 
Kenyataannya bisa. Jika Indonesia sudah juara dunia dalam bidang fisika 
yang bidangnya susah sekali, artinya Indonesia bisa sehebat negara 
Amerika Serikat, Tiongkok.
Kenapa tidak kita mulai 
siapkan segala sesuatunya? Akhirnya 2006 kita juara dunia. Kemudian saya
 pikir mau angkat anak-anak dari daerah tertinggal. 2008 saya mulai 
ambil anak-anak dari pelosok-pelosok. Nah ternyata, mereka itu anak-anak
 yang hebat jadi gak kalah dengan anak di kota besar, kemampuannya 
bagus. 
Seperti apa kemampuannya?
Kita 
ada Sekolah Genius. Ada dua orang anak dari 10 murid Sekolah Genius. 
Mereka dari Papua, matematika menonjol, bisa ngalahin anak-anak dengan 
IQ 159. Namanya Nita Kogoya dan Ayu Rogi umur 10-11 tahun. Mereka 
matematika jago banget.
Jaminan kedua anak ini masa depannya?
Saya
 harap dia tiga tahun lulus SMA, sekarang umur 10-11 tahun. Kalau 11 
tahun berarti 14 tahun udah lulus SMA, harapannya masuk universitas. 
Tergantung kalau ke luar negeri kita kirim ke luar, kalau di Indonesia 
sudah pasti di Surya University.
Jumlah anak didik sekarang ada berapa?
Ada
 banyak. Tergantung. Kalau dari olimpiade-olimpiade saja yang lima orang
 pertahun kalikan saja 20 tahun. Sudah 100 anak yang ikut olimpiade. 
Belum yang babak penyisihan, babak penyisishan itu ada 30 anak kalau 
dikali 20 tahun sudah 600.
Belum lagi babak yang 
sebelum itu. Tergantung yang mana muridnya. Bisa ribuan. Dari Aceh 
sampai Papua. Mayoritas memang dari Jawa karena mereka lebih banyak yang
 siap. Dari kuantitas, yang Jawa lebih banyak, mungkin dari Jawanya 
sekitar 60 persen.
Selama 20 tahun, ada bantuan dari pemerintah untuk membantu Anda?
Pemerintah
 selama ini kerjasama dalam pelatihan olimpiade. Dari satu sampai dua 
tahun, pemerintah biasa bantu dua bulan pelatihan. Kemudian pemerintah 
juga bantu mengirim anak-anak ke olimpiade.
Ada imbalan dari pemerintah kerena berjasa?
Oh, nggak ada. Ini sukarela saja.
Kendala?
Banyak sih. Saya kan bukan konglomerat. Semua pasti terkait dengan dana yang besar.
Kayak bikin universitas, 
itu kan dananya besar. Tapi syukurlah semua bisa diatasi. Mengatasi 
kemalasan orang untuk meneliti. Orang sudah nyaman dengan keadaan kayak 
gini. Udah keenakan, jadi susah untuk bikin terobosan baru.
Orang kalau mikir, ini 
apa lagi. Waktu saya ingin bawa Indonesia juara dunia saja orang masih 
skeptis. Khayalannya mimpi. Tapi terus, jadi kan? Terus sekarang pas 
kita rencanakan Indonesia bisa dapat Nobel, udah pada ngeledek 'nggak mungkin’, Saya bilang, nggak ada yang gak mungkin. Kenapa nggak?
Siapa tokoh yang jadi inspirasi Anda sehingga bisa sukses seperti sekarang?
Ayah ibu saya, itu udah pasti. Mereka itu gigih sekali. Jadi kalau saya males-malesan saya malu sama mereka .
Mereka bangun jam tiga 
pagi. Ibu saya kan tukang bikin kue. Bangun langsung bikin kue. Tidur 
jam dua belas malem dan nggak pernah ngeluh.
Coba bayangkan jam tiga 
sudah bikin kue, jam enam sudah jualan. Terus sampe jam sembilan masak 
buat keluarga. Nggak ada habisnya.
Jadi kalau saya 
malas-malasan, saya malu juga. Jadi, kalau saya bangun jam tiga terus 
sudah kebiasaan. Waktu tidur tiga, empat jam. Itu udah cukup. Saat ini 
cukup dengan bertambahnya umur.
Apa yang anda lakukan di waktu luang?
Di
 waktu luang saya ini baca macam-macam. Dulu saya bacanya fisika. 
Sekarang sudah sudah sejarah, ekonomi. Enjoy aja. Sejarah tentang 
Genghis Khan, tentang Kerajaan Tionghoa zaman dulu, raja-raja Majapahit,
 jadi bahan makanan saya. Kenapa? di situ saya banyak menikmati .
Makin banyak peneliti asal Indonesia yang kini mengabdi di luar negeri. Apa komentar Anda?
Pemerintah seharusnya tarik mereka. Saya sudah tarik hampir 100 lebih.
Kasih mereka fasilitas 
yang baik, fasilitas riset. Panggil semua, siapkan dana yang besar. Dana
 3 persen dari APBN. Misalnya APBN kita Rp1000 triliun.
Saya bayangkan, minimal 
100-150 triliun tiap tahun kalau mau hebat kalau bisa. Kenapa? Supaya 
mereka riset. Peralatan yang baik, punya penghasilan, nggak usah nyambi ngajar sana sini. Panggil dari luar. Kita berkembang, itu bagus.
Seberapa mendesak pemerintah harus serius kembangkan dunia riset?
Sekarang
 ini kita hanya pemakan saja. Kayak handphone, kita cuma baru jadi 
pembeli. Kita pemakai saja. Kenapa kita nggak kembangkan?
Samsung dulu kan jelek, 
nggak ada apa-apanya, tapi pemerintah mereka kasih dukungan, jadi bisa 
mendunia. Akhirnya sekarang Apple saja kalah.
Misalkan pemerintah kita 
bilang ‘Oke, kita bikin yuk. Kalahkan Samsung’. 15 tahun lagi bisa, asal
 dukung terus. Masa kita enggak bisa? Pasti bisa. Asal ada kemauan, 
riset-risetnya djalankan.
Mobil juga, kebanyakan Jepang. Yuk, pemerintah support, bikin mobil tapi mobil terdepan.
Mobil terbang lah, kan 
sekarang belum ada. Kalau kita mau jadi produsen mobil terbang dari 
sekarang, 10 tahun lagi kita nomor satu.
Kejar saja. Dukung terus.
 Jadi sebenarrnya tergantung keinginan pemerintah saja. DPR juga harus 
beri dukungan. Selama ini DPR cuma berpikir, pentingnya teknologi dalam 
ekonomi apa? Kalau nggak, ya di pangkas anggarannya.
Riset itu bisa mempengaruhi bidang apa saja?
Banyak.
 Misalnya Kesehatan. Contoh, sekarang dunia mewaspadai ebola. Kalau 
misalkan ebola bisa terjangkit, biaya yang dikeluarkan berapa sebulan 
buat obat?
Vaksinnya akhirnya beli dari mana? Beli dari Amerika kan triliunan karena mereka buat persediaan.
Semuanya dijaga buat divaksin. Kenapa sih nggak kita bikin labnya? Lab vaksin yang canggih nanti buat nanggulangin ebola.
Waktu virus flu burung, kita pusing. Harus beli vaksin banyak-banyak, miliaran. Yang kaya malah tukang bikin vaksin.
Terus
 riset di pertanian. Petani-petani kita setahun cuma 4 ton per hektar 
sudah setengah mati. Tiongkok pake teknologi, pake riset, udah 15 ton 
per hektar. Hasil pertanian Indonesia 15 banding 4 dong, hampir 4 kali 
lipat. Riset dong. Membantu petani setempat.
Sekarang senjata kita beli dari negara x. Peraturannya banyak banget.
Kagak boleh ini, kagak boleh itu. Jadi cuman panjangan doang. Tujuannya baik.
Jangan digunakan untuk 
perang tapi jadi pajangan. Kan sayang. Macem-macem dari berbagai sektor.
 Gimana mempertahankan pertumbuhan ekonomi 7 persen?
Apa saja yang mesti kita 
ekspor? Apa saja yang kita mesti impor supaya 7 persen? Kayak Tiongkok, 
gimana caranya, kita harus riset.
Contoh negara yang sudah menerapkan riset?
Negara-negara
 maju semua pake riset. Amerika, Jepang, Korea. Dananya besar, 2-3 
persen (dari APBN). Bahkan negara ada yang sampai 8 persen.
Sebentar lagi akan ada pemerintahan baru. Tertarik mau jadi Menteri Riset dan Teknologi?
Saya saat ini lebih baik di luar [pemerintahan]. Saya ingin mengembangkan riset-riset di Universitas Surya.
Saya berharap bisa 
tunjukkan ke universitas lain bahwa kita bisa riset dengan kondisi 
seminim mungkin dan kita bisa menjadi besar. Ini jadi pendorong untuk 
unversitas-universitas lain dalam riset.
Nanti Menristek yang baru itu dia lah yang tinggal nge-push sedikit. Jadi saya dari bawah, Menristeknya dari atas. Asal nyambung aja.
Jadi saya lebih cenderung membantu Joko Widodo. Bila diizinkan jadi penasihat untuk riset, bukan jadinya menterinya.
Saya akan mencoba memberi
 pandangan pada beliau kemana Indonesia harusnya, riset kemana aja. 
Nggak ada gunanya saya di situ, nggak terlalu bermanfaat.
Biarkan orang-orang yang 
punya kapasitas sebagai birokrat, silakan. Biarkan saya di sini, nanti 
bisa sinergi. Itu sih harapannya. Tapi nggak tau, (nanti) Pak Jokowi 
memberi pandangannya seperti apa.
Bagaiman kalau Jokowi menunjuk Anda?
Saya
 tetap akan negosiasi, kalau bisa saya di luar pemerintahan. Saya lebih 
efektif di luar. Kemungkinannya kecil, kecuali ada sesuatu.
Tapi saat ini saya cenderung untuk di luar. Saya nggak tahu setelah Jokowi panggil. Something can happen. Ya, mudah-mudahan nggak ada perubahan.
Kandidat yang cocok untuk mengisi Menristek?
Sebenarnya ada teman saya yang cukup bagus. Tidak banyak omong tapi ide-idenya cukup menarik.
Dia mencoba penggabungan 
antara perguruan tinggi dengan kemenristek, mengelaborasinya. Maksud 
saya, sangat strategis. Dia mantan Wakil Rektor IPB, namanya  Asep 
Saefuddin.
Orangnya cukup strategis.
 Selama berteman dengan dia, orangnya punya pemikiran menarik. Artinya, 
pembicaraan saya dengan beliau, orangnya kalau saya lihat sih Oke.
Selain Asep?
Saya
 belum diskusi banyak sehingga sulit mengatakan. Liat visinya dia 
seperti apa. Mungkin ada. Indonesia kan banyak orang pinter. Belum 
ketemu saja.
Kriteria Menristek menurut Anda?
Menurut saya, orangnya harus punya pikiran kalau Indonesia itu harus menjadi negara riset. Riset-riset harus dipegang.
Singapura pintar sekali untuk menerapkan strategi risetnya. Sebenarnya kita bisa.
Amerika kan banyak 
lulusan dari Harvard dan MIT (Massachusetts Institute of Technology). 
Tapi mereka itu sulit mencari pekerjaan karena di Amerika persaingannya 
tajam. Singapura pintar karena buka lowongan.
Lulusan MIT sudah jago, 
nggak perlu satunya. Kenapa nggak kita bergabung dengan peneliti lokal, 
mereka dari luar. Naik dong derajatnya.
Jadi bisa menulis di makalah internasional. Namanya naik dan ide-idenya berkembang kan.
Artinya, Menristek yang akan datang harus berpikir strategis. Harus berpikir out of the box.
 Gimana caranya cari akal riset di Indonesia seluruhnya merata, agar 
hasilnya dapat dirasakan masyarakat setempat, masyarakat banyak.
Mungkin kelihatannya 3-4 tahun ke depan. Nggak apa-apa. Namanya riset butuh waktu. Jadi, harus yang punya visi kuat. (ren)
sumber : 
viva news